Langsung ke konten utama

“Tari Gobuk” Bedagai, Adakah Kaitannya dengan “Membuat Ubat” di Batu Bara?

Tarik Gobuk dari Desa Nagur, Tanjung Beringin, Serdang Bedagai. (Foto: Zuhari)

Catatan: Azrin Marydha

Satu grup dari Desa Nagur, Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai menampilkan “Tari Gobuk” di sela acara penabalan Ir. Tengku Achmad Syafei sebagai Kepala Masyarakat Adat Bedagai di Tanjung Beringin dengan gelar Tengku Pangeran Nara Kelana IV Negeri Bedagai Wazir Negeri Deli, oleh Seripeduka Sultan Deli XIV.

Acara ini berlangsung Rabu pagi 17 Maret 2010 bertepatan dengan 1 Rabiul Akhir 1431 H, di halaman rumah dinas Camat Tanjung Beringin atau yang banyak pula disebut masyarakat setempat sebagai eks Kerapatan Adat Negeri Bedagai.

“Tari Gobuk” yang ditampilkan, adalah sebuah tarian yang menggambarkan kegiatan pengobatan terhadap warga yang sedang sakit, dalam masyarakat Bedagai pada zamannya.

Pimpinan Tari Gobuk tersebut, Badrin Syam didampingi Pembina Sanggar Tari Sri Mayang Sofyan, SH menuturkan, tarian ini berawal pada sekitar tahun 1895 lalu ketika ada seorang warga Desa Nagur yang merupakan anak dari seorang penguasa desa mengalami sakit. Dokter maupun dukun telah silih berganti mengerahkan kemampuannya, namun anak sang penguasa tersebut tak kunjung sembuh.

Orangtua si anak terus mencari dan mendatangi orang pintar hingga suatu hari bertemu dengan seorang dukun. Setelah “orang pintar” tersebut menerawang, diketahuilah bahwa anak penguasa itu dimasuki Pewako (peliharaan nenek moyang) yang saat itu tidak mau keluar dari tubuh si anak, jika tidak diberi syarat.

Berdasarkan pengetahuan orang pintar tersebut, disarankan kepada pihak keluarga, terutama orangtua si sakit agar membuat persembahan dengan menampilkan sebuah tarian yang bernama Gobuk dan menghanyutkan Lancang ke tengah laut.

Setelah persyaratan yang disarankan oleh dukun tersebut dibuat, maka tidak lama kemudian anak penguasa desa itu langsung mengalami kesembuhan dari sakit yang sudah bertahun dideritanya.

Dan akhirnya, “Tari Gobuk” hingga kini kerap ditampilkan pada setiap acara adat Melayu dan sudah menjadi budaya bagi Desa Nagur dan Kecamatan Tanjung Beringin, bahwa Tari Gobuk adalah tarian adat Melayu.

“MEMBUAT UBAT” DI BATU BARA

“Tari Gobuk” ini mengingatkan penulis dengan sebuah tradisi pengobatan di daerah Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, terutama di kawasan masyarakat Melayu yang berada di Kecamatan Limapuluh khususnya Desa Simpang Dolok dan sekitarnya.

Di sana, khususnya bagi sebagian puak Melayu yang berasal-usul dari Siak Indragiri dan Pagaruyung, secara turun-temurun dikenal sebuah cara pengobatan terhadap sesuatu penyakit yang sulit sembuh, melalui penyelenggaraan “membuat taman” dan melakukan “tari gobuk”. Penyelenggaraan ini lazim disebut oleh masyarakat Batu Bara di sana dengan nama “membuat ubat” (menyelenggarakan pengobatan-red).

Entah bagaimana mula asalnya, tetapi aktivitas “membuat ubat” di Batu Bara – menurut pengamatan penulis yang turut menghadiri acara penabalan Pangeran Bedagai tersebut – hampir seluruhnya punya kesamaan dengan “Tarik Gobuk” Desa Nagur Bedagai.

Sejumlah “gobuk” – semacam kendi atau belanga kecil terbuat dari tanah liat – disusun berjajar di atas hamparan permadani atau penggantinya biasanya berupa tikar. Di Batu Bara seperti dimaksud di atas, jumlah gobuk harus ganjil: tiga, lima, tujuh atau sembilan dan seterusnya sampai jumlah tertentu bergantung sedikit atau banyaknya Puwako yang akan dipanggil.

Jumlah gobuk menunjukkan besar-kecilnya perhelatan “membuat ubat” tersebut. Jika hanya tiga gobuk maka perhelatan termasuk kecil-kecilan, sekedar memanggil Puwako secara terbatas dan khususnya untuk pengobatan terhadap yang sedang sakit. Sedangkan jika semakin banyak misalnya 9 gobuk atau 13 gobuk, maka diumpamakan permainan sangat ramai – Puwako yang datang bakal banyak, untuk bermain di taman “gobuk”.

Penulis tidak begitu ingat secara rinci, namun susunan gobuk di atas hamparan permadani atau tikar sebagai penggantinya itu bagi Puwako yang datang merupakan sebuah taman tempat bermain, menyanyi dan menari. Dalam bermain itulah, yang punya hajat menyampaikan maksudnya untuk melalui Puwako yang datang meminta doa kepada Allah SWT kiranya si sakit diberi kesembuhan, bahkan kepada warga masyarakat di daerah itu diberi kesehatan dan keselamatan.

Kesamaan “Membuat Ubat” dengan “Tari Gobuk” misalnya, gobuk yang disusun secara berjajar sebaris – atau, di Batu Bara jika gobuk berjumlah banyak disusun dua baris sejajar. Bedanya, pada “membuat ubat” gobuk sejak awal sudah disusun, sedangkan pada “Tari Gobuk”, gobuk-gobuk itu dibawa oleh para dara penari dan dibawa menari baru diletakkan di tempatnya.

Sebagai gambaran bahwa hamparan arena tempat gobuk itu sebagai taman, ialah dengan membuat berbagai bentuk bunga dan dedaunan dengan bahan dari daun pucuk kelapa (janur-red). Selain dibentuk menjadi seperti pohon, daun dan bunga juga dibentuk seperti burung-burung yang hinggap di dahan atau sedang terbang.

Persamaan kedua gelar ini, tampak pula: kumpulan tangkai anyaman daun, bunga dan burung-burung dari janur itu dimasukkan ke dalam setiap gobuk yang juga diisi air putih dan bersih serta berbagai macam bunga. Juga disiapkan lancang terbuat dari upih pohon pinang. Sedangkan para person yang memiliki Puwako dan bersiap untuk ikut “bermain” duduk tidak jauh dari “taman gobuk” tersebut, atau ada pula yang berbaur dengan warga yang datang untuk menyaksikan perhelatan karena semula tidak bermaksud untuk ikut "bermain".

Memulai acara, seseorang semacam “bomo” yang memimpin perhelatan mulai membuat asap kemenyan dan mulutnya komat-kamit membaca sesuatu menghubungi Puwako yang akan dipanggil, lalu dilantunkan pula senandung Batu Bara. Dan tampaknya, ini juga punya persamaan dengan “Tari Gobuk”.

Kesamaan cara memanggil Puwako itu tampak pada senandung dan pantun yang dilantunkan dengan suara merdu-mendayu. Misalnya untuk memanggil datang:

Ooooiii…. Batang tuan batang cendano
Oooiiii…. Batang lah kami si ramo-ramo
Datang lah tuan datang lah nyawo
Oooiiii… mari bermain besamo-samo…

Di Batu Bara, awal “pemanggilan” biasanya diiringi pula dengan ratib bersama para pengunjung (penonton) dengan membacakan secara berirama: “hu lailaha illallah” berulang-ulang dan terus-menerus sampai sang “bomo” mengganti dengan lafal yang lain.

Atas panggilan tersebut, akan ada Puwako yang datang dan masuk ke tubuh seseorang yang hadir di perhelatan tersebut dan sejak awal telah diselubungi dengan kain – sang Puwako akan menyebut orang yang dimasukinya itu sebagai “sandaran kami” (tempat ia bersandar/bersemayam sementara).

Biasanya, setiap pertama datang sang Puwako akan melantunkan senandung dengan menyampaikan salam Assalamu ‘alaikum.. dan seterusnya. Lalu sang "bomo" menjawab pula dengan alunan senandung berisi pantun. Lewat senandung itu yang datang bertanya mengapa ia dipanggil, dan "tuan rumah" menjawab maksud tujuan "taman gobuk" itu digelar. Begitu seterusnya, senandung dengan pantun-pantun dilantunkan dan Puwako-Puwako pun berdatangan memasuki “sandarannya” masing-masing.

Dalam perhelatan tersebut, para Puwako ada yang datang hanya sekedar untuk ikut “bermain” meramaikan dengan menyanyi (bernenandung dengan pantun) dan menari, bahkan di antaranya ada yang datang tidak dipanggil tetapi langsung masuk ke sandarannya yang tidak diselubungi kain.

Ada kalanya pula, Puwako itu setelah datang meminta maaf karena datang tanpa diundang tetapi mengatakan kedatangannya karena tanda besar hati untuk ikut meramaikan permainan di taman. Namun, ada pula yang langsung marah-marah karena ada keramaian tetapi kenapa dia tidak diundang ikut bersama.

Untuk yang minta maaf tentu “Puwako” tuan rumah meminta maaf pula karena – misalnya beralasan – bukan disengaja tetapi karena perhelatan yang terbatas namun menyatakan pula dengan besar hati menyambut kedatangan mereka, sedangkan kepada yang marah juga meminta maaf dengan alasan karena tamah permainan kecil sehingga takut untuk mengundang, tetapi dengan besar hati menerima jika berkenan datang.

Di Batu Bara, pada saat para Puwako melalui sandarannya asyik menyanyi dan menari, para warga yang menyaksikan membentuk setengah lingkaran mengepung taman gobuk, ikut meramaikan suasana dengan bertepuk tangan sembari menyanyikan “guding lah guding guding ding, guding alah guding guding..” begitu berulang-bulang terus-menerus. Dan, jika di antara penonton ada yang memiliki Puwako, bisa juga Puwakonya datang bersandar padanya dan ikut bermain di taman gobuk.

Biasanya, setelah para Puwako puas “bermain” di taman menarik mengelilingi gobuk, maka Puwako utama mulai menari di atas gobuk. Kemudian mengambil kuntum mayang Pinang yang telah diukir dan membawanya menari, sebelum kemudian ia menepuk hingga mayang pun mengurai, lalu dipukulkan perlahan kepada si sakit. Ada kalanya pula, kemudian sang Puwako mengambil gobuk dan menyiramkan airnya ke kepala si sakit. Biasanya, si sakit dalam perhelatan itu berubah membaik bahkan tak jarang malah ikut dimasuki Puwako dan menari baik mengililingi maupun di atas gobuk.

Setelah semua dianggap sudah puas bermain dan tiba waktunya “pulang” (selesai), sang “bomo” kembali melantunkan senandung dengan bunyi pantun:

Ooooiiii… ondak dulang dulang lah tuan
Ooooiiii…. Injak lah injak batang jerami
Ondak pulang pulang lah tuan.. ooiii...
Oooiiiii…. Ingat lah ingat kepado kami…

Biasanya, mendengar senandung ini para “sandaran” pun terjatuh kemudian tersadar kembali, menandakan Puwako yang bersandar di tubuhnya tadi sudah kembali ke tempatnya semula.

Perhelatan ini bisa berlangsung semalaman, dimulai setelah sholat Isya sampai menjelang masuk waktu Subuh. Setelah selesai dan semua Puwako dipastikan sudah “pulang”, sang “bomo” menyampaikan apa-apa yang harus dilakukan oleh keluarga si sakit. Pagi-paginya kemudian, air dari dalam gobuk dimandikan kepada si sakit dan kepada siapa saja warga yang menginginkannya dan diharapkan sebagai penawar (obat). Sedangkan lancang kemudian dilarung ke laut atau ke sungai terdekat.

Penulis belum memperoleh informasi, apakah perhelatan di kedua daerah ini benar-benar sama dan satu asal-muasal atau hanya kebetulan memiliki persamaan. Juga uraian ini dituangkan hanya berdasarkan pengalaman empirik yang masih melekat dalam ingatan penulis. Sedangkan secara pasti dan rinci, mungkin perlu penggalian lebih dalam lagi, oleh siapa saja berminat. Hanya saja, penulis pun tidak tahu apakah di Batu Bara masih ada tokoh yang menguasai detail cara dan syarat-syarat “membuat ubat” tersebut yang masih hidup.

Selain itu, perlu pula diingat, dalam prinsip “membuat ubat” tersebut permohonan pertolongan bagi pengobatan semua ditujukan kepada Allah SWT, termasuk para Puwako yang “datang” tetap menyampaikan ucapan-ucapan bercirikan Islam, seperti mengucap Assalamu ‘alaikum, memohonkan ampun kepada Allah SWT, mengucapkan shalawat untuk Rasulullah SAW, serta puja-puji bagi Allah seru sekalian alam.
Wallahu a’lam bissawab.**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tempat Ritual Paranormal Abah Rahman

Sebagai seorang paranormal, Abah Rahman punya tempat khusus untuk melakukan ritual. Seperti apa ? Berikut photo-photonya : Ritual ritual ini dilakukan untuk proses keberhasilan pasien Paranormal Abah Rahman. Contak Person Abah Rahman : 0813 7630 6023 PIN BB : 214841E6

Kisah Pelaku Pesugihan Omyang Jimbe

Namaku Yogi, sebut saja begitu, umurku 52 tahun. Aku tinggal di sebuah perumahan di Jakarta Selatan bersama isteri dan dua orang putraku. Sampai penghujung tahun 2007, rumah tanggaku tak menemui masalah yang berarti. Kami hidup rukun dengan segala kebutuhan rumah tangga yang selalu bisa aku penuhi. Dua orang putraku pun bisa bersekolah dengan layak, salah satunya sudah duduk dibangku perguruan tinggi dan adiknya masih di bangku SLTP. Tapi suatu ketika musibah datang beruntun dan langsung membuatku ambruk hingga tenggelam ke dasar lumpur kenistaan. Padahal baru saja dua bulan aku mengambil kredit di sebuah bank swasta nasional yang nilainya 700 juta rupiah. Untuk mendapatkan kredit sebesar itu, aku mengagunkan rumah yang aku tempati bersama isteri dan anak-anakku. Uang sejumlah itu aku gunakan untuk modal usaha karena aku sudah lama mendapatkan klien dari Singapura mengirim hiasan rumah tradisional. Seperti disambar petir di siang bolong, hari itu aku mendapat kabar bahwa barang yang ku

Tuah Keramat Pemandian Putri Hijau, Ampuh Membuang Sial Badan

TEMPAT ini acap kali dikunjungi orang orang yang percaya pada tempat keramat. Baik siang atau pun malam, aroma hio dan bunga selalu tercium, menandakan ritual terus berlangsung. Pemandian Putri Hijau ada di Kampung Pamah, Deli Tua. Tak lah terlalu sulit untuk menggapainya. Begitu sampai di Pajak Deli Tua, sebelum kantor Polsek kita belok kanan, terus cari namanya Gang Bunga dan masuklah ke dalam. Trus ada jembatan, begitu kita lewati, beloklah ke kiri. Di sana kita jumpai sebuah perkampungan orang Karo. Mereka ramah -ramah pada orang yang datang. Terlihat dari sunggingan senyum yang mereka persembahkan ketika saya menuju tempat itu. Setelah itu kita melewati rimbunan pohon bambu, pisang, persawahan. Jalanan yang meliuk-liuk mendaki bukit haruslah ekstra hati-hati, kalau tidak bisa saja nyemplung ke sawah. Tempat ini memang eksotik. Dihiasi persawahan dan perkebunan warga. Jalannya pun masih tanah. Ada banyak sensasi yang dirasa ketika bercengkrama dengan alam di temp